Madu Asli Sumatera Merek AN NAHLU

Bank Syariah Juga Riba (3)

Posted on: April 7, 2009

Ada satu persoalan lain lagi yang menunjukkan penyimpangan oleh ’perbankan syariah’ yaitu praktek kontrak jual beli yang dikenal sebagai murabahah, yang de facto menjadi sebentuk kredit berbunga dengan fixed rate. Oleh perbankan syariah kontrak murabahah ini tidak dipraktekkan seperti apa adanya, melainkan diambil prinsipnya, dan diterapkan untuk tujuan lain, yaitu ’pembiayaan’. Kembali penulis kutip dari buku Tidak Islamnya Bank Islam:

Contoh praktek murabahah dalam perbankan Syariah adalah bila seseorang ingin membeli sebuah rumah seharga Rp 100 juta, maka pihak bank akan mebelikan untuk yang bersangkutan, dan menjual-nya lagi seharga (misalnya) Rp 200 juta. Transaksi ini dihalalkan dengan alasan akad yang disepakati. Tapi ada persoalan di sini. Kalau harga rumah tersebut di pasaran saat itu Rp 100 juta, mengapa bank menjualnya seharga Rp 200 juta, artinya dengan keuntungan 100% – yang jelas tidak beralasan dan sangat memberatkan. Alasannya adalah karena konsumen membayarnya secara kredit – katakanlah dalam 5 tahun. Maka, ini berarti tiada alasan lain, kecuali waktulah yang menjadi faktor penambahan dari Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta, dan bukan faktor produksi apa pun. Dengan jelas kita melihat bahwa murabahah dalam praktek perbankan Syariah bukan lagi jual beli tetapi sebentuk penciptaan kredit dengan pembayaran tangguh dan cicilan (dengan bunga fixed rate, dalam contoh ini 20%/tahun).

Dengan mengacu pada pengertian riba sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rushd yang sudah dibahas di muka, praktek murabahah ala perbankan syariah ini menimbulkan riba al fadl. Di sini penulis sekalian ingin mengoreksi kekeliruan penulis dalam menafsirkan riba yang timbul di dalam transaksi pembiayaan yang oleh perbankan syariah disebut murabahah ini. Penulis menyebutkan ’tiada alasan lain, kecuali waktulah yang menjadi faktor penambahan dari Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta, dan bukan faktor produksi apa pun.’ Pernyataan ini menghasilkan kesimpulan yang keliru, yaitu timbulnya riba an nasi’ah. Yang benar, riba yang timbul di sini adalah akibat dari peningkatan jumlahnya, dari Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta, bukan karena penundaan waktu pelunasannya. Persoalannya di sini bukanlah penambahan itu an sich, yang halal hukumnya dalam transaksi jual-beli (murabahah), tetapi adanya sejumlah harga berbeda untuk arrangement yang berbeda (pembayaran tunai versus kredit) dalam satu transaksi. Ini merupakan suatu praktek yang dikenal sebagai ’dua penjualan dalam satu transaksi’, yang haram hukumnya. Dalam salah satu hadis disebutkan secara jelas Rasulullah melarang transaksi sejenis ini.

Imam Malik dalam Al Muwatta, Buku Transaksi Bisnis, meriwayatkan Sunnah berikut:
Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik bahwa ia mendengar bahwa Rasulullah melarang dua penjualan dalam satu penjualan. Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik bahwa ia mendengat seseorang berkata kepada orang lainnya, ’Belilah onta ini dengan langsung untuk saya sehingga saya dapat membelinya dari kamu secara kredit.’ ’Abdullah ibn ’Umar ditanya tentang hal ini dan ia melarangnya.

Dalam perkembangannya selama ini pun terbukti bahwa perbankan syariah jauh lebih banyak menyalurkan dananya melalui skema murabahah. Ini artinya, sebagaimana telah diulas di muka, de facto perbankan syariah secara dominan telah menciptakan kredit atau utang dengan pembayaran cicilan, meskipun disebut sebagai pembiayaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bank Islam adalah pucuk, meskipun bukan yang terakhir, dari tahap asimilasi dalam pembaruan Islam. Sebagaimana yang terjadi di ranah politik metode yang dilakukan untuk mereformasi ranah muamalat adalah dengan menggeser hukum-hukum muamalat dari wilayah eksistensial ke dataran esensial, menjadi prinsip-prinsip muamalat.

Bentuk-bentuk kontrak dalam muamalat, seperti mudarabah, syirkat, wadiah, murabahah, dan sebagainya, yang telah diuraikan di atas, diabstraksikan ke dalam prinsip-prinsip dan diterapkan untuk sesuatu yang berbeda sama sekali dari praktek yang seharusnya. Hasilnya adalah ekonomi (baca: kapitalisme) Islam. Perbankan syariah atau Islam, bagi kaum Muslim, jelas lebih buruk dari perbankan ribawi ’konvensional’. Sebab kehadirannya justru menutupi kebenaran bahwa untuk dapat menjalankan muamalat, sebagai jawaban nyata atas persoalan kemanusiaan hari ini, kita tidak memerlukan perbankan sama sekali.

Tinggalkan komentar

Blog Stats

  • 14.718 hits
April 2009
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930  

Pengunjung Kami