Madu Asli Sumatera Merek AN NAHLU

Posts Tagged ‘bank indonesia

Membandingkan pengertian dan praktek qirad serta syirkat yang sebenarnya ini dengan yang dikembangkan oleh perbankan syariah akan terlihat sungguh jauh api dari panggang! Kedua bentuk kontrak yang berbeda ini dicampuradukkan dan diubah menjadi ’prinsip bagi hasil’ dan ’penyertaan modal’ untuk disesuaikan dengan bentuk-bentuk kontraktual kapitalistik. Pengabaian uang kertas sebagai instrumen ribawi, dan penggunaannya sebagai alat tukar yang tanpa dipersoalkan, adalah penyebab lain invaliditas ’perbankan syariah’. Hasilnya, seperti telah disebutkan, adalah secara de facto dipraktekkannya penciptaan kredit dan prinsip time value of money oleh perbankan syariah. Rancang bangun organisasi ’perbankan syariah’ itu sendiri, yang mengikuti model kontrak bisnis kapitalis, yakni prinsip pemilikan sahan mayoritas dan minoritas, sudah membuatnya, menurut syariah, sejak semula tidak valid.

Kerancuan hubungan kontraktual ini juga terjadi dalam hubungan antara ’perbankan syariah’ itu dengan para nasabahnya. Akibatnya, seperti yang penulis uraikan dalam buku Tidak Islamnya Bank Islam, terjadilah selingkuh kepentingan (conflic of interest) yang menimbulkan kerugian pihak nasabah. Kutipan dari buku tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam konteks perbankan Syariah selingkuh kepentingan sangat jelas terlihat dalam posisi bank yang, pada saat bersamaan, bertindak selaku sahibul mal dan mudharib sekaligus. Ketika bank Syariah menghimpun uang dari umat ia menyatakan dirinya sebagai mudharib, tapi ketika ia menyalurkan uangnya kepada nasabah ia menyulap posisinya menjadi sahibul mal. Pertanyaan elementernya adalah: uang milik siapakah yang ia salurkan? Jawabnya pasti milik umat. Lantas bagaimana mungkin si bank ini dapat menjadi sahibul mal tanpa “menelikung” hak milik umat? Bagaimana proses penelikungan ini dapat dijelaskan?

Sebagaimana diuraikan di atas modus operandi perbankan adalah “memutar uang” yang bukan miliknya sendiri, bahkan menciptakan uang-uang itu dari ketiadaan, seketika saat uang pihak lain yang dititipkan padanya tersebut “diputar”. Di sinilah pangkal soalnya amanah satu pihak untuk menitipkan (uang) pada pihak lain, yang dalam hubungan kontraktual menurut fiqih dikenal sebagai wadiah, ditelikung hingga de facto uang titipan tersebut berstatus sebagai pinjaman. Suatu praktek yang sama dengan yang terjadi pada perbankan [konvensional]. Status uang yang berbeda, titipan atau pinjaman, jelas memiliki implikasi berbeda.

Titipan adalah amanah, tidak ada hak pada pihak yang dititipi untuk menggunakan uang tersebut, baik dipinjamkan kepada pihak ketiga maupun dipakainya sendiri. Sedangkan pinjaman telah mengakibatkan perpindahan pemilikan, meskipun sementara, dan karena itu si peminjam berhak untuk melakukan suatu tindakan atas hak miliknya (sementara) tersebut.

Dalam kepustakaan perbankan Syariah penelikungan amanah tersebut diabsahkan dengan dicampuradukkannya hubungan kontraktual penitipan dengan peminjaman, melalui suatu kontrak yang disebut sebagai wadiah adh-dhamanah, selain yang telah disebut sebelumnya yakni wadiah yad amanah. Disebutkan dengan wadiah adh-dhamanah pihak yang menerima titipan (dalam hal ini bank Syariah) boleh menggunakan dan memanfaatkan uang yang dititipkan dengan seizin pemilik uang yang menitipkan kepadanya. Di sinilah, de facto, terjadi perubahan status uang titipan menjadi pinjaman, atau lebih tepatnya, titipan tidak dibedakan lagi dari pinjaman. Tampaknya memang ada pembenaran yang diajukan untuk hal ini, yakni adanya akad, artinya si penitip (diasumsikan) telah mengizinkan hal tersebut terjadi.

Ada dua masalah di sini. Pertama, kejelasan konsekuensinya bagi kedua belah pihak—terutama pemilik uang—dan kerelaan menerima konsekuensi tersebut dalam akad ini secara praktis dalam kenyataannya sangat diragukan, baik karena situasi fait accompli oleh pihak II (bank) kepada pemilik uang ataupun karena ketidakpahaman pihak I (penitip) tentang hal ihwal dan perbedaan status uang titipan dan pinjaman. Dalam kenyataannya kedua status uang yang berbeda ini oleh perbankan Syariah dicampuradukkan menjadi satu. Kedua, ada bentuk kecurangan dan kezaliman pihak II terhadap pihak I, yakni dalam hal perolehan atas pemakaian uang tersebut. Dalam hal ini pihak II yang “merampas” hak pemilikan (sementara) uang titipan pihak I mendapatkan kesempatan untuk memutarkannya (menginvestasikannya) dan memperoleh keuntungan darinya, dalam hal ini melalui mekanisme bagi hasil dengan pihak III. Sedangkan kepada pihak I perbankan Syariah (pihak II) hanya akan memberikan bonus (at haya), yang besarnya tentu saja ditentukan sesuka hati oleh pihak II (lihat Gambar 2). Dapat dipastikan nilainya jauh di bawah perolehan yang diambil oleh pihak bank, dan diberikan dengan dasar yang tidak jelas (“budi baik” bank). Betapa tidak adilnya!

Bahkan, bila hubungan kontraktual antara pihak I dan pihak II adalah mudharabah atau bagi hasil pun, selingkuh kepentingan pada perbankan Syariah di atas telah menimbulkan sejumlah ketidak-pastian. Para pihak (mudharib dan sahibul mal) akan kehilangan jejak tentang usaha yang mereka sepakati yang mengakibatkan sulitnya menentukan tingkat keuntungan atau kerugiannya, apalagi pelaksanaan bagi hasilnya, tanpa ada salah satu pihak yang dirugikan. Pihak I, kemungkinan besar juga pihak II, tidak lagi akan mengetahui investasi kerjasama yang dilakukan tersebut atas usaha yang mana, pada periode berapa lama, tingkat keuntungan/kerugian yang diperolehnya, pembagian risiko/keuntungannya, dan seterusnya. Suatu ketidakpastian (gharar) yang sangat potensial memicu konflik.

Hubungan kontraktual dua (atau lebih) pihak pun, dalam sisi yang lain, seharusnya dibuat atas dasar suatu kegiatan usaha yang spesifik, dan bukan atas dasar waktu yang tertentu, tanpa kejelasan dalam jenis usahanya. Kontrak mudharabah yang dipraktekkan oleh perbankan Syariah dalam bentuk deposito atau tabungan biasa, yang diberi label mudharabah mutlaqah, adalah kontrak atas dasar waktu, dan bukan jenis usaha yang spesifik. Bagaimana mungkin kedua pihak dapat menentukan tingkat keuntungan atau kerugian serta pembagian keuntungan atau risiko kerugiannya masing-masing secara benar, tanpa mengetahui jenis usaha yang dijalankannya? Tidakkah di sini terkandung suatu spekulasi dan ketidakpastian yang nyata?

Implikasi lain atas penelikungan status titipan menjadi pinjaman di atas adalah timbulnya ketidak-pastian bagi eksistensi lembaga itu sendiri – yang risikonya pada akhirnya kemudian harus ditang-gung pemilik uang: kemungkinman collapse akibat rush. Kalau uang umat itu adalah titipan maka ketika semua pemiliknya secara bersamaan datang untuk mengambilnya, semua akan mendapatkan haknya. Uang itu pasti ada di tempat. Tapi jika uang itu menjadi pinjaman, yang merupakan hak (sementara) bank, maka ketika semua pemilik aslinya datang mengambilnya pada saat yang bersamaan hanya sebagian (kecil) yang akan mendapatkan miliknya. Sebagian besar entah di mana, bahkan lebih buruk dari itu, tinggal ada dalam angka-angka di layar komputer! Bank Syariah, sama saja dengan bank lain, akan runtuh karenanya. Maka, dalam konteks ini, unsur ketidakpastian atau gharar yang harus dihindari dalam muamalat menurut Syariah Islam tidak dapat dicegah oleh perbankan Syariah.

Krisis global yang berawal di medio Juli 2008, memunculkan pertanyaan tentang sistem perbankan dan lembaga keuangan dunia yang jatuh bangkrut. Kebangkrutan ini terjadi karena bank-bank dan lembaga keuangan tersebut mengalami kesulitan likuiditas. Pertanyaanya bagaimana bisa kesulitan likuiditas ini berlaku serentak ?
Menilik dari istilah likuiditas, bukankah aliran uang bersifat cair (liquid), tentu saja apabila tidak ada di satu bank tertentu, pastilah likuiditas akan mengalir ke bank lainnya. Fenomena yang sering terjadi, banyak bank mengalami kesulitan likuiditas secara bersamaan, sehingga harus memasang bunga tinggi untuk menarik uang para deposan, agar mereka sudi mendepositkan uang di bank. Jadi bukankah likuiditas harus berkumpul di suatu tempat, entah di bank A, atau di bank lainnya.
Anda tidak salah sepenuhnya, karena logika sederhana memang demikian bahwa likuiditas tidak pergi kemana-mana. Namun perlu disadari bahwa , tetapi bukan logika awam ini yang berlaku di dunia perbankan dan keuangan global.
Sistem yang berlaku di dunia perbankan adalah Fractional Reserve Banking. Sistem ini menciptakan likuiditas dari uang seperti yang kita kenal uang kertas dan uang logam , tetapi dari uang bank yang dihasilkan melalui suatu proses penciptaan uang (money creation).
Bagaimana skema Fractional Reserve Banking, berikut illustrasinya :
Sistem FRB mewajibkan untuk menyisihkan sekian persen dari simpanan untuk operasional sehari-hari. Cadangan 5% diasumsikan, bahwa deposan seperti Anda, hanya akan mengambil uang rata-rata sehari sebesar 5% dari simpanan di Bank. Sisanya 95% simpanan dipercayakan oleh deposan untuk dikelola penuh oleh Bank.

frb

Misalkan Anda memiliki simpanan Rp 1 Milyar dan Anda simpan di Bank A, maka sebagai contoh Bank Indonesia mewajibkan Bank A hanya mencadangkan 5%-nya atau Rp 50 juta. Selebihnya Rp 950 juta oleh Bank A dapat dipinjamkan ke Bank B. Oleh Bank B, dengan hanya wajib mencadangkan 5%-nya atau Rp 47.5 juta, maka dari uang pinjaman tersebut, dapat dipinjamkan bank B ke Bank C sebesar 95%nya tau Rp 902.5 juta. Bank C kemudian meminjamkannya lagi ke Bank D, demikian seterusnya. Dengan teori FRB, maka uang yang tadinya hanya Rp 1 Milyar dengan minimum reserve 5 % dapat menghasilkan likuiditas yang berlipat-lipat.
Pinjaman likuiditas antar bank, namun bank peminjam tidak meminjam gratis karena mereka wajib membayar bunga overnight , kepada bank pemilik likuiditas. Beberapa waktu lalu, perbankan Indonesia mengalami krisis kepercayaan antar bank, sehingga mereka tidak bersedia meminjamkan dana ke bank lain, karena takut dana tersebut akan macet.

Dari tabel diatas, apabila Anda panik dengan kondisi ekonomi atau mengalami kesulitan likuiditas, lalu Anda menarik simpanan Anda Rp 1 Milyar dari Bank A, apa yang terjadi? Sistem perbankan berpotensi kehilangan likuiditas, bukan hanya Rp 1 Milyar melainkan Rp 5,2 Milyar uang bank yang tercipta melalui Fractional Reserve Banking tersebut. Hal ini pernah terjadi di Indonesia, saat krisis tahun 1997, dimana banyak bank kolaps karena deposan menarik simpanan di bank-bank.
Anda bisa bayangkan bagaimana kalau para deposan lain yang mempunyai uang seperti Anda, bersama-sama menarik uangnya dari perbankan. Bisa dipastikan sistem keuangan sekuat apapun pasti akan roboh. Dengan demikian, yang terjadi pada krisis likuiditas secara global, tidak terjadi aliran likuiditas dari satu tempat ke tempat lain, namun likuiditas yang semu karena sistem FRB kembali menjadi tidak ada.
Tidak mengherankan, jika sistem perbankan masih mengadopsi Fractional Reserve Banking maka kebangkrutan satu bank berpotensi menyeret seluruh industri perbankan. Lagi-lagi, Pemerintahan suatu Negara cenderung memberikan bantuan likuiditas untuk menyelamatkan Bank yang lagi bermasalah, karena kalau tidak diselamatkan dampak yang lebih buruk akan terjadi. Anda bisa lihat Negara-negara benua Eropa dan pemerintahan Obama, mati-matian menyelamatkan institusi keuangan di Negara-negara tersebut agar kerusakan bisa “dilokalisasi”, tentu saja tidak termasuk Lehman Brothers.
Melanjutkan tulisan sis Alina, tentang Lembaga Penjaminan Simpanan. LPS dibentuk oleh Pemerintah, agar masyarakat mendapatkan jaminan dananya akan kembali, apabila ada kebangrutan sistem perbankan. Darimanakah dana LPS untuk menjamin dana perbankan? Dalam menghimpun dana, LPS menetapkan premi 0,2% per tahun dari simpanan dan dibayar dalam dua kali cicilan, yakni pada awal semester I dan II. Sampai tahun 2008, LPS berhasil mengumpulkan premi “hanya”sebesar Rp.7,2 trilyun.
Dengan jumlah simpanan deposan yang dibawah Rp.2 milyar sebesar Rp 920 trilyun, kemudian terjadi kebangkrutan bank, maka dengan jumlah premi rata-rata Rp.2,5 trilyun per tahun, LPS pasti gagal bayar. Dalam hal ini yang harus dipertanyakan adalah kemampuan keuangan Pemerintah yang harus melakukan bailout (dana talangan) atas sisa kewajiban LPS yang gagal dibayar. Dengan kondisi keuangan APBN yang morat-marit, sepertinya bailout tidak akan mudah untuk dilakukan.
Tujuan tulisan ini adalah sistem perbankan dengan FRB sangat rentan dengan kebangkrutan finansial secara global. Bahkan bank syariah, juga mungkin terseret dalam krisis global, jika ada pinjaman (baca: penyertaan modal ) yang macet. Tidak ada perbedaan prinsipil antara bank syariah dan bank konvensional.
Solusi pemerintah dengan membentuk LPS,sama sekali tidak memberikan keamanan yang nyata, dikarenakan kemampuan LPS untuk mem-bailout simpanan di bawah Rp.2 milyar, sangat terbatas sekali. Pada akhirnya sistem FRB mendasarkan keberlangsungan sistemnya pada prasangka nasabah bahwa dananya aman di bank, dijamin LPS, dan nasabah yang nyaman tidak akan melakukan rush (penarikan uang besar-besaran).

Tetapi sampai kapan FRB akan berjalan?

(opini)


Blog Stats

  • 14.718 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Pengunjung Kami