Madu Asli Sumatera Merek AN NAHLU

Posts Tagged ‘giro wajib minimum

Krisis global yang berawal di medio Juli 2008, memunculkan pertanyaan tentang sistem perbankan dan lembaga keuangan dunia yang jatuh bangkrut. Kebangkrutan ini terjadi karena bank-bank dan lembaga keuangan tersebut mengalami kesulitan likuiditas. Pertanyaanya bagaimana bisa kesulitan likuiditas ini berlaku serentak ?
Menilik dari istilah likuiditas, bukankah aliran uang bersifat cair (liquid), tentu saja apabila tidak ada di satu bank tertentu, pastilah likuiditas akan mengalir ke bank lainnya. Fenomena yang sering terjadi, banyak bank mengalami kesulitan likuiditas secara bersamaan, sehingga harus memasang bunga tinggi untuk menarik uang para deposan, agar mereka sudi mendepositkan uang di bank. Jadi bukankah likuiditas harus berkumpul di suatu tempat, entah di bank A, atau di bank lainnya.
Anda tidak salah sepenuhnya, karena logika sederhana memang demikian bahwa likuiditas tidak pergi kemana-mana. Namun perlu disadari bahwa , tetapi bukan logika awam ini yang berlaku di dunia perbankan dan keuangan global.
Sistem yang berlaku di dunia perbankan adalah Fractional Reserve Banking. Sistem ini menciptakan likuiditas dari uang seperti yang kita kenal uang kertas dan uang logam , tetapi dari uang bank yang dihasilkan melalui suatu proses penciptaan uang (money creation).
Bagaimana skema Fractional Reserve Banking, berikut illustrasinya :
Sistem FRB mewajibkan untuk menyisihkan sekian persen dari simpanan untuk operasional sehari-hari. Cadangan 5% diasumsikan, bahwa deposan seperti Anda, hanya akan mengambil uang rata-rata sehari sebesar 5% dari simpanan di Bank. Sisanya 95% simpanan dipercayakan oleh deposan untuk dikelola penuh oleh Bank.

frb

Misalkan Anda memiliki simpanan Rp 1 Milyar dan Anda simpan di Bank A, maka sebagai contoh Bank Indonesia mewajibkan Bank A hanya mencadangkan 5%-nya atau Rp 50 juta. Selebihnya Rp 950 juta oleh Bank A dapat dipinjamkan ke Bank B. Oleh Bank B, dengan hanya wajib mencadangkan 5%-nya atau Rp 47.5 juta, maka dari uang pinjaman tersebut, dapat dipinjamkan bank B ke Bank C sebesar 95%nya tau Rp 902.5 juta. Bank C kemudian meminjamkannya lagi ke Bank D, demikian seterusnya. Dengan teori FRB, maka uang yang tadinya hanya Rp 1 Milyar dengan minimum reserve 5 % dapat menghasilkan likuiditas yang berlipat-lipat.
Pinjaman likuiditas antar bank, namun bank peminjam tidak meminjam gratis karena mereka wajib membayar bunga overnight , kepada bank pemilik likuiditas. Beberapa waktu lalu, perbankan Indonesia mengalami krisis kepercayaan antar bank, sehingga mereka tidak bersedia meminjamkan dana ke bank lain, karena takut dana tersebut akan macet.

Dari tabel diatas, apabila Anda panik dengan kondisi ekonomi atau mengalami kesulitan likuiditas, lalu Anda menarik simpanan Anda Rp 1 Milyar dari Bank A, apa yang terjadi? Sistem perbankan berpotensi kehilangan likuiditas, bukan hanya Rp 1 Milyar melainkan Rp 5,2 Milyar uang bank yang tercipta melalui Fractional Reserve Banking tersebut. Hal ini pernah terjadi di Indonesia, saat krisis tahun 1997, dimana banyak bank kolaps karena deposan menarik simpanan di bank-bank.
Anda bisa bayangkan bagaimana kalau para deposan lain yang mempunyai uang seperti Anda, bersama-sama menarik uangnya dari perbankan. Bisa dipastikan sistem keuangan sekuat apapun pasti akan roboh. Dengan demikian, yang terjadi pada krisis likuiditas secara global, tidak terjadi aliran likuiditas dari satu tempat ke tempat lain, namun likuiditas yang semu karena sistem FRB kembali menjadi tidak ada.
Tidak mengherankan, jika sistem perbankan masih mengadopsi Fractional Reserve Banking maka kebangkrutan satu bank berpotensi menyeret seluruh industri perbankan. Lagi-lagi, Pemerintahan suatu Negara cenderung memberikan bantuan likuiditas untuk menyelamatkan Bank yang lagi bermasalah, karena kalau tidak diselamatkan dampak yang lebih buruk akan terjadi. Anda bisa lihat Negara-negara benua Eropa dan pemerintahan Obama, mati-matian menyelamatkan institusi keuangan di Negara-negara tersebut agar kerusakan bisa “dilokalisasi”, tentu saja tidak termasuk Lehman Brothers.
Melanjutkan tulisan sis Alina, tentang Lembaga Penjaminan Simpanan. LPS dibentuk oleh Pemerintah, agar masyarakat mendapatkan jaminan dananya akan kembali, apabila ada kebangrutan sistem perbankan. Darimanakah dana LPS untuk menjamin dana perbankan? Dalam menghimpun dana, LPS menetapkan premi 0,2% per tahun dari simpanan dan dibayar dalam dua kali cicilan, yakni pada awal semester I dan II. Sampai tahun 2008, LPS berhasil mengumpulkan premi “hanya”sebesar Rp.7,2 trilyun.
Dengan jumlah simpanan deposan yang dibawah Rp.2 milyar sebesar Rp 920 trilyun, kemudian terjadi kebangkrutan bank, maka dengan jumlah premi rata-rata Rp.2,5 trilyun per tahun, LPS pasti gagal bayar. Dalam hal ini yang harus dipertanyakan adalah kemampuan keuangan Pemerintah yang harus melakukan bailout (dana talangan) atas sisa kewajiban LPS yang gagal dibayar. Dengan kondisi keuangan APBN yang morat-marit, sepertinya bailout tidak akan mudah untuk dilakukan.
Tujuan tulisan ini adalah sistem perbankan dengan FRB sangat rentan dengan kebangkrutan finansial secara global. Bahkan bank syariah, juga mungkin terseret dalam krisis global, jika ada pinjaman (baca: penyertaan modal ) yang macet. Tidak ada perbedaan prinsipil antara bank syariah dan bank konvensional.
Solusi pemerintah dengan membentuk LPS,sama sekali tidak memberikan keamanan yang nyata, dikarenakan kemampuan LPS untuk mem-bailout simpanan di bawah Rp.2 milyar, sangat terbatas sekali. Pada akhirnya sistem FRB mendasarkan keberlangsungan sistemnya pada prasangka nasabah bahwa dananya aman di bank, dijamin LPS, dan nasabah yang nyaman tidak akan melakukan rush (penarikan uang besar-besaran).

Tetapi sampai kapan FRB akan berjalan?

(opini)


Blog Stats

  • 14.718 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Pengunjung Kami